Ketika pesona dunia mulai memudar
Dari artikel Pak Rimbo Gunawan,menurut saya,adanya system
kepercayaan yang mungkin dianggap kolot atau terlalu menjaga adat menjadikan
nilai plus bagi terjaganya sistem ekologi manusia .walaupun kalau dilihat
sekilas,hubungan makhluk gaib dengan terjaga nya ekologi agak jauh. Namun,bila
di telaah jauh lagi,justru karena adanya kepercayaan akan makhluk lain (makhluk
gaib),manjadikan manusia menghargai hal hal yang berbau alam dan pedalaman yang
jarang terjamah,sehingga jarang terjadi masalah dengan ekosistem.
Jika di kaitkan dan di bandingkan dengan kenyataan
pada era modern ini, masyarakat dahulu masih berkonsep immanen. Yaitu, ketika
manusia,secara sadar ataupun tidak,menempatkan dirinya menjadi salah satu
bagian (kecil saja) dari lingkungan. Adanya kepercayaan yang diberikan kakek
dari Pak Rimbo sendiri yang mengatakan jangan pernah merusak keharmonisan
alam,walau dengan memetik daun sekalipun walaupun dibungkus dengan adanya
istilah pamali dan rasa menghargai makhluk ghaib,adalah salah satu wujud betapa
orang dahulu begitu menghargai alam dan makhluk lain,dan imbasnya,ini adalah
sebuah hal ampuh yang menjadi pagar tingkah laku manusia agar tidak merusak
alam. Jika manusia menggunakan potensi alam sewajarnya dan tidak
berlebihan,tentu bencana tidak akan menimpa mereka .
Berbeda dengan zaman sekarang,yang semua hal harus
bisa dihitung(calculable), diukur(measurable), di manipulasi(manipulable),di
perkirakan(predictable) kemungkinan dan alternatifnya, sehingga sampai ke
makhluk gaib pun harus ada penjelasannya. Zaman dimana manusia telah merubah
konsep nya menjadi transenden. Menurut Prof Otto, transenden adalah cara
pandang yang beranggapan bahwa manusia dan lingkungan merupakan dua sistem yang
terpisah. Sehingga manusia merasa berhak mendayagunakan seluruh potensi
lingkungan untuk kesejahteraan dan kemakmurannya dengan bantuan ilmu dan
teknologi.
Dewasa ini,tekanan-tekanan terhadap hutan itu semakin
kompleks dan berkaitan satu dengan yang lain:pertanian,komoditas perdagangan
yang berorientasi ekspor,marginalisasi sumber daya petani miskin ,pembangunan
infrastruktur ,industrialisasi kehutanan seperti pembangunan gutan tanaman industry
untuk memasok industri pulp dan
kertas,penebangan kayu ilegal,dll.keuntungan dari eksploitasi mencapai US$4.53
miliar atau 16,68% dari seluruh jumlah ekspor nonmigas yang mencapai US$27,15
miliar
Ironisnya,hutan kini hanya dianggap sebagai pemasok
kayu,tanpa memperhatikan fungsi krusialnya yaitu sebagai paru paru dunia. Penggundulan
hutan(deforestation) lebih dari sekedar menghilangnya suatu kawasan berhutan
yang dulu pernah ada. Peristiwa ini member gambaran jelas bagaimana cara
pandang transenden terhadap lingkungan dilakukan. Jika hal ini dibiarkan,hutan
hujan tropis akan habis. Cepatnya perusakan ekosistem hutan di Indonesia disebabkan
oleh progresifnya aktivitas manusia dalam mendayagunakan sumber daya tersebut.
Pola pemikiran transenden tentunya bukan hal baik
untuk keberlangsungan ekosistem hutan. Manusia
merasa mampu mengatasi alam dan memang selayaknya alam berada di bawah pengaturan
manusia. Jika hal ini terus terjadi, menurut Pak Rimbo perlu di tinjau dan di
renungkan kembali pernyataan orang bijak, bahwa “hutan ini buka milik
kita,tetapi titpan dari anak cucu kita(generasi mendatang)… “
Ketika pesona dunia mulai memudar….©
Sumber : Artikel Pak Rimbo Gunawan
Dosen Pengantar Antropologi UNPAD
Komentar
Posting Komentar